Mendapatkan Pergantian Kerugian dari Perkara Pidana
Sejatinya, setiap orang yang berbuat tindakan yang bertentangan dengan undang-undang sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain, wajib memberikan pergantian atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan orang tersebut. Hal tersebut merupakan muruah dari asas keadilan di hukum Indonesia, yang juga merupakan manifestasi dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum perdata merupakan hukum privat yang bersifat antar warga negara secara privat, sedangkan hukum pidana merupakan hukum publik yang mengatur kepatutan dan hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hal tersebut kerap menimbulkan persepsi bahwa perkara pidana mengandung sanksi badan dan administratif sedangkan ganti rugi terhadap korban hanya bisa didapatkan melalui perkara perdata. Perbuatan melawan hukum, atau kerap juga dikenal sebagai PMH, sering menjadi dasar dari gugatan di acara pengadilan perdata. Pada umumnya, gugatan tersebut menuntut adanya pergantian atas kerugian yang diderita oleh penggugat akibat PMH yang dilakukan orang lain.
Dasar pengajuan gugatan ganti rugi akibat PMH adalah adanya unsur PMH itu sendiri, bagaimana sebuah perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum? Perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata dapat disimpulkan sebagai perbuatan yang secara nyata bertentangan dengan kaidah hukum positif yang berlaku, meliputi hukum-hukum yang hidup pada masyarakat. Tidak pula dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang bersifat aktif, tetapi perbuatan pasif sekali pun dapat merupakan PMH.
Pada umumnya, PMH identik dengan peradilan dalam ranah hukum privat, yaitu hukum acara perdata. Apabila demikian, kepastian hukum bagi para pencari keadilan yang dirugikan di ranah hukum publik akan menjadi rancu dan tidak memiliki kejelasan. Untuk mengakomodasi kepastian hukum bagi para pencari keadilan yang dirugikan di ranah hukum publik, Bab XIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101) memberikan ruang bagi pencari keadilan untuk menuntut kerugian yang dideritanya dengan memohonkannya kepada hakim pada saat persidangan pidana berlangsung.
Hakim pada perkara pidana yang sedang dijalankan, wajib menimbang terkait dengan permohonan tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan istilah penggabungan perkara perdata pada perkara pidana. Penggabungan perkara merupakan hal yang lazim terjadi di sistem peradilan Indonesia, tetapi penggabungan perkara perdata pada perkara pidana tidak sering ditemukan pada praktek hukum pidana Indonesia. Dengan adanya pengaturan tersebut, pencari keadilan dapat mendapatkan hak-hak yang dituntut dengan cara yang lebih efisien dan efektif.
Suria Nataadmadja & Associates Law Firm
Advocates & Legal Consultants