Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Acara Perdata
Pengertian pengakuan yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti dijelaskan pada Pasal 174-176 HIR dan 1923 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang menjelaskan alat bukti adalah berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan yang dilakukan di muka hakim dalam persidangan, dimana pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan lawan adalah benar sebagian atau seluruhnya. Sama seperti alat bukti persangkaan, bahwa pengakuan juga termasuk dalam alat bukti tidak langsung (indirect evidence), karena alat bukti tersebut tidak diajukan secara fisik dalam pemeriksaan persidangan karena bentuknya memang tidak dapat dilihat secara fisik melainkan hanya pernyataan atau pengakuan dari para pihak yang berperkara atas dalil yang telah diajukan.
Dalam Pasal 1925 KUHPerdata diatur tentang siapa saja yang berhak memberikan pengakuan, dimana dalam hal ini pihak yang paling berwenang memberikan pengakuan adalah pihak principal, yaitu pihak yang berkedudukan sebagai penggugat atau penggugat, hal ini adalah pengakuan yang paling baik karena yang mengaku adalah pihak yang paling tahu kejadian atau fakta materiil yang sebenarnya. Selain pihak principal, pihak lain yang dapat melakukan pengakuan adalah Kuasa Hukum pihak yang berperkara, namun pada hakekatnya pengakuan yang disampaikan adalah pengakuan dari para pihak yang bersengketa, Kuasa Hukum hanya sebagai perantara untuk menyampaikan pengakuan tersebut. Dalam menyampaikan pengakuan para pihak, Kuasa Hukum harus mempunyai dasar landasan kewenangan untuk melakukan pengucapan pengakuan tersebut, yaitu dengan Surat Kuasa Istimewa dan/atau Surat Kuasa Khusus.
Syarat dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Pengakuan
Dalam Pasal 1923 dan Pasal 1925 KUHPerdata, serta Pasal 174 HIR diatur mengenai syarat formil dalam mengajukan pengakuan agar dapat dikatakan sah sebagai alat bukti, yaitu pengakuan harus dikemukakan di muka Hakim dalam proses pemeriksaan di persidangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengakuan yang dilakukan tidak di muka hakim dan di luar persidangan tidak sah dan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 1927 KUHPerdata dan Pasal 175 HIR. Pengakuan yang dilakukan di muka hakim dalam proses pemeriksaaan di sidang pengadilan dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah, sehingga mempunyai nilai kekuatan pembuktian, diantaranya adalah:
- Daya mengikatnya, menjadi bukti yang memberatkan bagi pihak yang mengeluarkan atau melakukan pengakuan.
- Nilai kekuatan pembuktiannya sempurna bagi pihak yang telah melakukan pengakuan tersebut.
- Apabila pengakuan yang dikeluarkan merupakan pengakuan murni, maka kualitas nilai pembuktianya yang sempurna itu juga meliputi dasar kekuatan yang mengikat (bindende) dan menentukan (beslissende).
Pengakuan yang sah sebagai alat bukti tidak dapat ditarik kembali, hal ini diatur dalam Pasal 1926 KUHPerdata. Pasal ini menjelaskan bahwa suatu pengakuan yang telah dilakukan di muka hakim tidak dapat ditarik kembali, kecuali dapat dibuktikan bahwa pengakuan tersebut disebabkan karena alasan kekhilafan pihak yang mengaku.
MACAM DAN KLASIFIKASI PENGAKUAN
- Pengakuan Murni
Yang dimaksud dengan pengakuan murni adalah dimana salah satu pihak (Penggugat atau Tergugat) membenarkan seluruh dalil yang dikemukakan pihak lawanya secara utuh (bulat) tanpa adanya pengingkaran atau penyangkalan atas dalil yang telah dikemukakan pihak lawan tersebut. Akibat hukum dari adanya pengakuan semacam ini adalah:
- Pihak lawan dibebaskan dari segala beban pembuktian yang harus ditanggung oleh pihak lawan (beban pembuktian gugur);
- Setelah adanya pengakuan murni, maka secara otomatis perkara juga selesai;
- Hakim langsung dapat menjatuhkan putusan untuk mengakhiri perkara.
- Pengakuan dengan Kualifikasi
Adalah pengakuan terhadap suatu dalil-dalil yang dikemukakan namun pengakuan tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan dalil dalil yang telah dikemukakan pihak lawan (tidak secara utuh diterima).
- Pengakuan dengan Klausul
Dalam pengakuan dengan klausul, para pihak yang mengaku membenarkan dalil-dalil yang dikemukakan, namun disertai dengan tambahan-tambahan klausul yang bersifat membebaskan.
PENGAKUAN TIDAK BOLEH DITERIMA SECARA TERPISAH-PISAH
Hal ini diatur dalam Pasal 1924 KUHPerdata, Pasal 176 HIR. Dimana dalam Pasal 1924 dikatakan bahwa: “Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukanya. Namun Hakim adalah leluasa untuk memisah-misah pengakuan itu manakala si berutang didalam melakukanya, guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu”. Arti dari pasal tersebut adalah bahwa hakim tidak boleh menerima hanya sebagian pengakuan dari pihak yang melakukan pngakuan, karena hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang melakukan pengakuan. Akan tetapi, hakim berwenang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut, apabila ternyata pengakuan yang diberikan ternyata palsu dan hanya untuk membebaskan pihak yang melakukan pengakuan.
Suria Nataadmadja & Associates Law Firm
Advocates & Legal Consultants