Artikel Covid-19 (Corona VIrus Disease) - Legal Remedy Terhadap Dampak Covid-19 Di Indonesia
Indonesia dan seluruh dunia tengah berada dalam keadaan yang memaksa untuk mengubah ritme dan pola hidup, pola kerja, menunda banyak pekerjaan dan aktivitas, bahkan banyak industri yang pelaku usahanya terpaksa merumahkan pegawai, memotong gaji pegawai, mengurangi biaya operasional kantor, dan melakukan upaya-upaya lainnya demi menyelamatkan usaha yang sudah dirintis dari awal. Pemerintah pun melakukan hal yang serupa, memotong anggaran yang dinisiasikan untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia, sebagian besar dikesampingkan demi menyelamatkan nyawa-nyawa setiap Warga Negara Indonesia dari pandemi Covid-19.
Dilema yang ditimbulkan oleh Covid-19 ini menimbulkan dampak serius pula bagi para pelaku usaha yang terikat dengan kontrak-kontrak dengan berbagai pihak, terutama apabila usaha pelaku usaha tersebut terkena dampak Covid-19. Misalnya, pelaku usaha tersebut terikat dalam pengadaan berbagai permainan taman hiburan yang didatangkan dari Tiongkok, demi pembangunan taman hiburan baru yang berlokasi di Jakarta. Pelaku tersebut tentunya mengalami kendala karena pemerintah secara jelas melarang kegiatan impor permainan taman hiburan tersebut (sumber: Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 tentang Larangan Sementara Impor Binatang Hidup dari Republik Rakyat Tiongkok). Apabila ditelaah secara umum, apalagi apabila klausul Force Majeur pada kontrak pengadaan tersebut juga merangkum bahwa perubahan kebijakan pemerintah termasuk dalam ihwal Force Majeur, tentu Para Pihak akan mengikuti upaya pemulihan sebagaimana metode yang ditetapkan dalam kontrak, atau setidak-tidaknya bermusyawarah mufakat terlebih dahulu untuk menentukan solusinya.
Pertanyaannya, apabila sang pelaku usaha terlibat dalam kontrak outsourcing tenaga kerja dengan perusahaan outsourcing terkait, dimana pada kasus posisinya, kontrak outsourcing tersebut tidak menyebutkan pandemi sebagai salah satu faktor force majeure. Sang pelaku usaha memiliki chain restoran di seluruh Jakarta, dan untuk urusan kebersihan, pekerjanya disediakan oleh sebuah perusahaan outsourcing (cleaning service). Di tengah-tengah pandemik Covid-19, pemerintah mengeluarkan himbauan social distancing dan work from home bagi begitu banyak sektor usaha. Campaign “Stay At Home” pun banyak disuarakan oleh para pembesar, figur publik, dan disebarkan secara begitu semarak melalui media sosial, demi berhentinya penyebaran Covid-19. Otomatis, usaha restoran sang pelaku usaha pun terdampak, restorannya sepi pelanggan, bahkan sangat jarang ada yang mau pesan antar. Omset per hari dari Rp 100.000.000,00 menjadi hanya Rp 500.000,00 per hari. Menanggung biaya operasional restoran pun tidak cukup, apalagi membayar perusahaan outsourcing penyedia jasa cleaning service di restorannya.
Apakah pelaku usaha dapat menangguhkan atau setidak-tidaknya meringankan kewajibannya berdasarkan kontrak outsourcing tersebut dengan dasar merebaknya pandemi Covid-19 sebagai unsur force majeure? Apakah harus dituliskan secara jelas adanya pandemi atau epidemi sebagai salah satu faktor force majeure?
Sebelumnya, kita harus mengenal istilah force majeure dan faktor-faktor pembentuk dan pengesahannya. Menurut praktisi hukum kontrak; Ricardo Simanjutak, force majeure adalah “merupakan suatu halangan dimana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung terjadinya force majeure, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya halangan itu”. Selain itu, force majeure secara umum juga dapat diterjemahkan sebagai keadaan memaksa yang menyebabkan salah satu pihak terhambat atau tidak dapat melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat jangka waktu kontrak masih berlaku, dan bahwa keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pihak tersebut, karena pihak tersebut tersebut tidak memiliki itikad buruk atau tidak bermaksud sengaja untuk melakukan wanprestasi terhadap kontrak yang dimaksud.
Secara aturan hukum Indonesia, force majeure tidak secara harafiah diatur dalam KUHPerdata, akan tetapi kita dapat menginterpretasikan force majeure menggunakan istilah overmacht atau keadaan memaksa yang diatur dalam Pasal 1244 jo. Pasal 1245 KUHPerdata, bunyi ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 1244 KUHPerdata:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Pasal 1245 KUHPerdata:
“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Apabila diperhatikan, kedua ketentuan dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan keadaan memaksa merupakan hal yang tak terduga, tak dapat dipertanggungkan kepadanya, hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, suatu perbuatan yang terlarang baginya (penulis menginterpretasikan hal ini sebagai suatu keadaan memaksa yang timbul karena kebijakan pemerintah yang disahkan selama periode kontrak, yang membuat suatu prestasi dalam kontrak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang terhalang oleh hukum).
Namun suatu kekosongan hukum juga terjadi, dimana KUHPerdata tidak menjabarkan jenis keadaan memaksa yang dimaksud. Secara praktik, keadaan memaksa diterjemahkan sebagai jenis-jenis force majeur yang biasa kita terapkan di dalam sebuah kontrak, yaitu peristiwa kahar atau peristiwa yang terjadi diluar kekuasaan manusia dan sifatnya unforeseeable, seperti bencana alam, kebijakan pemerintah yang baru, kerusuhan, embargo, perang, dan lain-lain.
Force Majeure dalam Wabah Pandemi Covid-19
Kembali kepada pertanyaan pada bagian awal artikel ini; bagaimana apabila dalam suatu kontrak tidak dicantumkan adanya klausula force majeure? Atau bagaimana jika para pihak yang membuat kontrak tidak memasukkan pandemi atau epidemi menjadi faktor penentu force majeure?
Menurut Pasal 1338 KUHPer, hal-hal yang disepakati para pihak terkait berlaku sebagai hukum bagi para pihak. Apabila para pihak tidak mencantumkan klausula force majeure dalam suatu kontrak, maka para pihak dapat mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1244 jo. Pasal 1245 KUHPerdata sebagaimana tercantum pada paragraf di atas, sebagai lex generali yang sifatnya supplemental terhadap kontrak para pihak. Pasal 1245 KUHPerdata diatur dalam bagian Buku III KUHPerdata yang sifatnya melengkapi perjanjian. Dengan kata lain, kecuali secara jelas dikesampingkan oleh para pihak, maka ketentuan Buku III khususnya terkait force majeure, akan berlaku atas seluruh kontrak yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia. Tentu saja, para pihak yang berkontrak juga wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan terkait pengaturan klausula keadaan kahar yang diatur oleh sektor usaha terkait. Misalnya, untuk kontrak mengenai jasa konstruksi harus memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang menyatakan bahwa klausula force majeure dalam kontrak jasa konstruksi mencakup kesepakatan mengenai risiko khusus, macam keadaan memaksa, dan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa.
Force majeure sendiri dapat dikategorikan dalam 2 (dua) jenis, yaitu Force majeure umum dan khusus, dengan faktor pembentuk apakah force majeure tersebut terjadi karena act of (God) atau act of human (khusus). Force majeure yang terjadi karena bencana alam dikategorikan sebagai force majeure yang bersifat umum, sedangkan dalam kasus pandemi Covid-19, dikategorikan sebagai force majeure khusus, karena yang menentukan Covid-19 sebagai pandemi, dan bahwa aturan-aturan yang bersifat menanggulangi pandemi Covid-19 dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, pemerintah lah yang menentukan bahwa Covid-19 adalah suatu hal yang dikategorikan sebagai keadaan kahar, sehingga Covid-19 tergolong dalam force majeure yang bersifat khusus.
Dalam hal penentuan force majeure, faktor pembuktian menjadi hal yang mutlak. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, alasan force majeure harus dipenuhi dengan tiga persyaratan; Pertama, ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kedua, ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain. Ketiga, ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik harus menanggung risiko.[1] Perisitiwa epidemi Covid-19 yang terjadi sekarang di Indonesia sulit untuk semerta-merta diartikan sebagai peristiwa force majeure, karena pada kenyataannya, tidak semua usaha dianjurkan untuk melakukan pekerjaannya dari rumah oleh Pemerintah, dan tidak semua usaha lainnya berhenti beroperasi akibat virus ini. Analisa mengenai apakah Covid-19 patut dijadikan dasar force majeure dan penangguhan atau pengurangan kewajiban suatu pihak dalam kontrak yang tidak mencantumkan epidemi dalam klausul force majeure adalah menganalisa peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, serta himbauan-himbauan terkait dan situasi riil di daerah yang terkait dengan objek kontrak terkait. Sejauh ini, Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang membuktikan betapa krusialnya dampak Covid-19 bagi perekonomian negara, antara lain sebagai berikut (klik untuk masuk ke link tautan):
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
(https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/135059/pp-no-21-tahun-2020)
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona
(https://www.kemenkeu.go.id/media/14768/pmk-23-tahun-2020pdf.pdf)
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disese 2019 (COVID-19)
- Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
(https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176084/Keppres_Nomor_11_Tahun_2020.pdf)
- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Provinsi DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-156/PJ/2020 tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan Dengan Penyebaran Wabah Virus Corona 2019
(https://www.pajakku.com/tax-guide/11973/KEP_DIRJEN_PJK/KEP%20-%20156/PJ/2020)
- Keputusan Gubernur Daerah Khusus DKI Jakarta No. 361 Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Tanggap Darurat Bencana COVID-19 di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
(https://jdih.jakarta.go.id/himpunan/produkhukum_detail/10163)
- Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 36 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik Bagi Aparatur Sipil Negara Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19
- Surat Edaran Menteri Perhubungan No. SE.5 BPTJ Tahun 2020 tentang Pembatasan Penggunaan Moda Transportasi Untuk Mengurangi Pergerakan Orang Dari dan Ke Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Selama Masa Pandemik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
(https://www.hukumonline.com/pusatdata/view/node/lt5e3d2e6316434/)
- Surat Edaran Menteri Agama No. SE.6 TAHUN 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di Tengah Pandemi Wabah COVID-19
Seluruh peraturan di atas, juga peraturan dan himbauan kelembagaan lainnya mengindikasikan situasi darurat yang ditimbulkan oleh wabah Covid-19 di Indonesia. Selain itu, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah bertujuan untuk meminimalisir mobilisasi warga, meminimalisir kegiatan di luar rumah, dan meminimalisir kegiatan yang mengumpulkan orang banyak. Tentu saja, dilihat dari 3 (tiga) tujuan pengesahan peraturan tersebut, banyak sekali kegiatan usaha yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung, oleh peraturan-peraturan tersebut. Sehingga, sejauh ini dapat disimpulkan, keadaan situasi tanggap darurat Covid-19 di Indonesia dapat dijadikan faktor force majeure dalam pelaksanaan suatu kontrak. Menurut hemat penulis, pihak yang terdampak Covid-19 pun dapat mengajukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, sebagai bukti penentu force majeure yang timbul dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Tidak kalah pentingnya, bahwa pihak yang terdampak pandemi Covid-19 sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya pun dapat mengajukan fakta-fakta mengenai Covid-19 di Indonesia kepada counterpart nya, seperti fakta jumlah orang .yang telah terjangkit virus Covid-19, menurunnya nilai tukar Rupiah, dan fakta-fakta lainnya yang menggambarkan efek Covid-19 kepada perekonomian Indonesia. Kemudian tentu saja kita tidak bisa mengesampingkan kekuatan renegosiasi atau restrukturisasi hak dan kewajiban para pihak dalam suatu kontrak. Di tengah-tengah pandemi dan kesulitan yang dialami banyak pelaku usaha di Indonesia, tentu saja penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan bersama adalah metode penyelesaian sengketa yang paling efektif dan rill (executable) dalam saat saat seperti ini.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa diperlukan adanya suatu penetapan bencana nasional agar kejadian Covid-19 dapat disebut force majeure, apakah hal ini benar?
Dikutip dari HukumOnline, menurut praktisi hukum kontrak, Ricardo Simanjuntak, “untuk bisa dikategorikan force majeure, halangan itu tak harus bersifat permanen. Peristiwa yang terjadi secara temporer pun masih bisa dikategorikan force majeure. Yang penting unsur-unsur tadi terpenuhi. Bila seluruh unsur itu menjadi satu kesatuan dan secara manusiawi dia betul-betul tidak memiliki contributory effect dalam peristiwa itu, maka di situlah force majeure berlaku. Menurut Ricardo Simanjuntak, keseluruhan unsur itu terpenuhi dalam kasus merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia. Alasannya adalah bahwa Pertama, orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi). Kedua, orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran wabah ini. Ketiga, wabah corona memang suatu halangan dimana orang tidak bisa mengesampingkannya.[2]
Tentu pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan halangan itu bisa dikategorikan force majeure? Menurut Ricardo Simanjuntak, “force majeure bisa berlaku ketika regulator mengatur hal tersebut. Regulatornya mungkin saja Presiden, atau gubernur di level provinsi. Misalnya, jika Gubernur DKI Jakarta menyatakan Jakarta di-lockdown.” [3] Jika dikaitkan dengan situasi terkini, bahwa per tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Walaupun terminologi yang digunakan adalah “pembatasan sosial” bukan “lockdown”, peraturan ini tetap menjadi tolak ukur penentuan keberlakuan force majeure Covid-19 pada suatu kontrak. Sehingga, per tanggal 31 Maret 2020, Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure yang berdampak kepada kontrak antara para pihak yang terkait, sehingga upaya pemulihan yang diatur dalam kontrak pada saat terjadinya force majeure dapat berlaku.
Suria Nataadmadja & Associates Law Firm
Advocates & Legal Consultants
[1] KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Mariam Darus Badrulzaman, 1931. Bandung: Alumni, 2011. hlm. 39
[2] Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19, 18 Maret 2020 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2572/keadaan-memaksa--force-majeur/
[3] Ibid.