KEABSAHAN PERJANJIAN ELEKTRONIK
Media Sosial

KEABSAHAN PERJANJIAN ELEKTRONIK

Perjanjian elektronik di definisikan dalam Pasal 1 angka (17) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Pada dasarnya, keabsahan dari suatu perjanjian tidak ditentukan melalui bentuk fisik (cetak ataupun elektronik) dari suatu perjanjian, melainkan akan dianggap sah bila memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata:

  1. kesepakatan para pihak;
  2. kecakapan para pihak;
  3. objek yang spesifik atau suatu hal tertentu; dan
  4. sebab yang halal.

Syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif dimana bila perjanjian elektronik tidak terpenuhi salah satu dari syarat tersebut maka dapat di batalkan pada pengadilan. Sementara, syarat objek dan sebab yang halal merupakan syarat subjektif yang mana bila tidak terpenuhi maka perjanjian elektronik dapat batal demi hukum.

Kemudian, secara khusus dalam Pasal 46 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP No. 71 Tahun 2019”) juga terdapat syarat sah dari perjanjian elektronik sebagai berikut:

  1. terdapat kesepakatan para pihak;
  2. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. terdapat hal tertentu; dan
  4. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain itu, yang harus diperhatikan dalam pembuatan perjanjian elektronik adalah bahwa perjanjian elektronik yang dibuat untuk warga Indonesia maka harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Bila perjanjian elektronik dibuat dengan klausula baku maka harus dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam perumusan perjanjian elektronik, minimal harus memuat:

  1. data identitas para pihak;
  2. objek dan spesifikasi;
  3. persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. harga dan biaya;
  5. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/ atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Uraian singkat di atas merupakan gambaran umum dari keabsahan perjanjian elektronik. Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal tersebut, Kantor Hukum Suria Nataadmadja & Associates dapat membantu Anda.

 

Suria Nataadmadja & Associates Law Firm

Advocates & Legal Consultants