Pemutusan Hubungan Kerja
Media Sosial

Pemutusan Hubungan Kerja

Dewasa ini, banyak orang mengeluhkan kondisi mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) oleh perusahaan. Keluhan mereka beragam, mulai dari ketidakadilan peraturan perusahaan, pemaksaan pengunduran diri, hingga permasalahan terkait uang pesangon yang mereka peroleh. Artikel ini akan membahas hal-hal umum mengenai PHK yang patut untuk diketahui oleh pengusaha dan pekerja.

Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pada umumnya, PHKterdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu PHK demi hukum yang diatur dalam Pasal 154 UUK, PHK oleh putusan pengadilan yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, dan PHK atas permintaan pekerja yang diatur dalam Pasal 154 huruf B UUK dan Pasal 169 UUK.

PHK yang dilakukan demi hukum adalah PHK yang terjadi karena pekerja masih dalam masa percobaan kerja, masa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) berakhir, pekerja mencapai usia pensiun, dan pekerja meninggal dunia. Sedangkan PHK oleh putusan pengadilan adalah PHK yang diperintahkan melalui putusan pengadilan, dan PHK atas permintaan buruh adalah bahwa pekerja mengundurkan diri atau mengajukan permohonan PHK kepada pengadilan.

Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerjanya apabila pekerjanya melakukan kesalahan, atau karena faktor lain, contohnya pengurangan tenaga kerja, perusahaan merugi, perubahan status perusahaan, dan sebagainya. Dalam hal PHK terjadi atas kehendak pengusaha, perusahaan terlebih dahulu harus memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Selanjutnya, terdapat juga pembatasan dalam alasan pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya, dan apabila perusahaan melanggar batasan tersebut, PHK tersebut menjadi batal demi hukum. Alasan-alasan yang dimaksud adalah antara lain: pekerja sakit terus-menerus selama 12 (dua belas) hari yang dibuktikan dengan keterangan dokter, pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, pekerja menikah, pekerja adalah perempuan yang sedang hamil, melahirkan, keguguran kandungan, atau menyusui bayinya, dan alasan lainnya yang diatur di dalam UUK.

Terkait dengan PHK yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerjanya, Pasal 164 ayat (3) UUK memperbolehkan PHK dengan alasan efisiensi, asalkan efisiensi tersebut diakhiri dengan lock-out atau penutupan perusahaan, hal tersebut dinyatakan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-IX/2011. Apabila perusahaan sedang melakukan efisiensi yang mengarah kepada tutupnya perusahaan, sebelum melakukan PHK terhadap pekerjanya, perusahaan wajib melakukan usaha-usaha penghematan atau peningkatan efisiensi, contohnya: mengurangi shift pekerja, menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mempercepat pensiun buruh yang kurang produktif, merumahkan pekerja untuk sementara waktu (garden leave) dan usaha lainnya. Apabila usaha-usaha tersebut telah dilakukan dan perusahaan tidak dapat terselamatkan dan tetap akan tutup permanen, maka perusahaan berhak melakukan PHK terhadap para pekerjanya, akan tetapi, pengusaha wajib untuk memberitahu para pekerjanya serta instansi setempat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Suku Dinas Ketenagakerjaan setempat) mengenai lock-out perusahaan minimal  (tujuh) hari sebelum lock-out dilaksanakan. Pemberitahuan yang dimaksud di atas memuat waktu mulai lock-out dan alasan-alasan lock-out.

Apabila PHK telah dilakukan oleh pengusaha sesuai dengan prosedur dan alasan-alasan yang ditetapkan oleh UUK dan aturan lainnya yang masih berlaku, maka pekerja berhak atas Uang Pesangon (Severance Pay), Uang Penghargaan Masa Kerja (Service Reward Pay), dan Uang Penggantian Hak (Compensation Pay), serta Uang Pisah (Separation Pay) apabila diatur dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama perusahaan yang terkait. Besaran komponen pesangon di atas dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UUK atau sesuai dengan kesepakatan bersama antara pengusaha dan buruh.

Demikian artikel ini dibuat demi menambah informasi kita bersama. Perlu diketahui bahwa sebagian besar aturan yang diatur dalam UUK mengenai hubungan kerja pengusaha dan pekerja dapat disimpangi dengan perjanjian bersama, contohnya: besaran uang pesangon, ketiadaan PKWT, ketentuan mengenai cuti, dan sebagainya. Penyimpangan ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilakukan dengan perjanjian kerja antara pengusaha dengan butuh, atau melalui peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama, karena perjanjian yang dibuat akan berlaku mendahului aturan-aturan yang dibuat secara umum, atau dalam hukum dikenal dengan istilah lex specialis derogat lex generalis.

Apabila terdapat pertanyaan seputar PHK di Indonesia, anda dapat menghubungi Kantor Hukum Suria Nataadmadja & Associates, atau memberikan pertanyaan dan meminta konsultasi hukum gratis melalui www.surialaw.com.