Proof of Supposition In Civil Procedure Law
Menurut Pasal 1915 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive. Pasal tersebut dapat dibedakan bahwa persangkaan terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:
- Persangkaan Undang-Undang:
Persangkaan undang-undang berdasarkan Pasal 1916 KUHPerdata adalah persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu. Persangkaan undang-undang sendiri diklasifikasikan lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu persangkan undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumtion of law) dan persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah (irrebuttable presumtion of law). Persangkaan undang-undang yang dapat dibantah berarti memungkinkan adanya pembuktian dari pihak lawan, contohnya adalah dalam Pasal 159, 633, 658, 662, 1394, dan 1439 KUHPerdata, sedangkan persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah berarti pihak lawan tidak memungkinkan untuk melakukan pembuktian terhadap persangkaan tersebut, contohnya adalah dalam Pasal 184, 911, 1681 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:
- Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang;
- Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari hutang;
- Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim;
- Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atas sumpah oleh salah satu pihak.
- Persangkaan Hakim:
Persangkaan ini diatur dalam Pasal 1922 KUHPerdata, kekuatan pembuktianya bebas dengan kata lain terserah pada penilaian hakim. Satu persangkaan tidaklah cukup, agar dapat dikatakan sebagai alat bukti harus saling berhubungan dengan persangkaan lain atau alat bukti lainnya. Namun, menurut pendapat Pitlo yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, hal tersebut sudah tidak dianut, sehingga satu peristiwa atau persangkaan saja sudah cukup.
Suria Nataadmadja & Associates Law Firm
Advocates & Legal Consultants