Proof of Witness In Civil Procedure Law
Follow Us

Proof of Witness In Civil Procedure Law

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR dan Pasal 1902-1912 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh seorang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Jadi, keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperolehnya secara berfikir bukanlah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan.

 

Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan kesaksiannya, adat-istiadat, martabat para saksi, dan segala sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya sebagai seorang saksi.

 

Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai pembuktian yang cukup, sesuai asas unus testis nullus testis (seorang saksi bukan saksi) dan Pasal 169 HIR, 306 Rbg, 1905 KUHPerdata. Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh dianggap sebagai sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak apabila penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan seorang saksi tanpa alat bukti lainnya. Keterangan seorang saksi ditambah dengan alat bukti lain baru dapat merupakan alat bukti yang sempurna, misalnya ditambah dengan persangkaan atau pengakuan tergugat.

 

Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib member kesaksian (Pasal 139 HIR, 165 Rbg, 1909 KUHPerdata). Namun, terhadap asas ini ada batasan atau pengecualian kepada orang-orang yang tidak dapat dijadikan sebagai saksi, yaitu:

 

A. Orang yang dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi:

  1. Orang yang tidak mampu secara mutlak:
  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak (Pasal 145 ayat 1 sub 1 HIR);
  2. Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai (Pasal 145 ayat 1 sub 2 HIR).
  1. Orang yang tidak mampu secara relatif:
  1. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 sub 3 jo. ayat 4 HIR);
  2. Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat (Pasal 145 ayat 1 sub 4 HIR).

 

B. Orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian:

  1. Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak;
  2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus serta saudara laki-laki dan perempuan daripada suami atau istri salah satu pihak;
  3. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yang sah saja.

 

Seseorang yang dipanggil oleh pengadilan memiliki kewajiban untuk menghadap pengadilan. Saksi apabila tidak mengundurkan diri, sebelum memberi keterangan harus disumpah menurut agamanya, dan saksi wajib memberikat keterangan, apabila saksi enggan memberikan keterangan maka atas permintaan dan biaya pihak, hakim dapat memerintahkan untuk menahan saksi.

 

 

Suria Nataadmadja & Associates Law Firm

Advocates & Legal Consultants