Industrial Dispute Resolutions through Tripartite
Follow Us

Industrial Dispute Resolutions through Tripartite

Perselisihan Hubungan Industrial (“PHI”) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PHI”), adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Pasal 2 UU PHI menjelaskan mengenai jenis PHI, yang meliputi:

  1. Perselisihan Hak;
  2. Perselisihan Kepentingan;
  3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja; dan
  4. Perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh hanya dalam Satu Perusahaan.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) sampai dengan ayat (17) UU PHI terdapat 3 (tiga) cara penyelesaian PHI, yaitu melalui:

  1. Perundingan Bipartit;
  2. Perundingan Tripartit; dan
  3. Pengadilan Hubungan Industrial.

Perundingan Triparti adalah perundingan yang dilakukan antara pekerja, pengusaha dengan melibatkan pihak ketiga sebagai fasilitator dalam penyelesaian PHI diantara pengusaha dan pekerja. Perundingan tripartit bisa melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

1. Mediasi (Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU PHI)

Mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Mediator yang dimaksud adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban untuk memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat/buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU PHI).

Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah mengadakan penelitian duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Mediator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta keterangannya. (Pasal 10 dan Pasal 11 UU PHI).

Apabila tercapai kesepakatan penyelesaian PHI melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terkait untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian PHI melalui mediasi, maka:

    1. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
    2. Anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada semua pihak selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari dari mediasi pertama.
    3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban (baik menerima atau menolak) atas anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran tertulis, apabila dalam 10 (sepuluh) hari tidak memberikan jawaban maka dianggap menolak anjuran tertulis.
    4. Apabila anjuran tertulis disetujui oleh para pihak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, mediator sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Negeri terkait.
    5. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terkait.

 

2. Konsiliasi (Pasal 17 sampai dengan Pasal 28 UU PHI)

Konsiliasi adalah  penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan  pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh  hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Pasal 1 ayat (13) dan (14) UU PHI).

Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, konsiliator harus sudah mengadakan penelitian duduk perkara dan segera mengadakan sidang konsiliasi pertama. Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta keterangannya (Pasal 20 dan Pasal 21 UU PHI).

Apabila tercapai kesepakatan penyelesaian PHI melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terkait untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.

Apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian PHI melalui konsiliasi, maka:

  1. Konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis;
  2. Anjuran tertulis harus sudah disampaikan kepada semua pihak selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari dari konsiliasi pertama.
  3. Para pihak harus sudah memberikan jawaban (baik menerima atau menolak) atas anjuran tertulis selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah menerima anjuran tertulis, apabila dalam 10 (sepuluh) hari tidak memberikan jawaban maka dianggap menolak anjuran tertulis.
  4. Apabila anjuran tertulis disetujui oleh para pihak, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak anjuran tertulis disetujui, konsiliator sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Negeri terkait.
  5. Dalam hal anjuran tertulis ditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terkait.

 

3. Arbitrase (Pasal 29 sampai dengan Pasal 54 UU PHI)

Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Kesepakatan para pihak yang berselisih dinyakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, yang di dalamnya memuat (Pasal 32 UU PHI):

  1. Nama Lengkap dan alamat/tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
  2. Pokok-pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan diambil putusan;
  3. Jumlah arbiter yang disepakati;
  4. Pernyataan para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase; dan
  5. Tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang berselisih.

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 ayat (15) dan (16) UU PHI).

Perjanjian penunjukan arbiter memuat hal-hal sebagai berikut (Pasal 34 UU PHI ayat (2):

  1. Nama Lengkap dan Alamat atau Tempat Kedudukan Para Pihak yang Berselisih dan Arbiter;
  2. Pokok-pokok Persoalan yang Menjadi Perselisihan dan yang Diserahkan kepada Arbiter untuk Diselesaikan dan Diambil Keputusan;
  3. Biaya Arbitrase dan Honorarium Arbiter;
  4. Pernyataan Para Pihak yang Berselisih untuk Tunduk dan Menjalankan Keputusan Arbitrase;
  5. Tempat, Tanggal Pembuatan Surat Perjanjian, dan Tanda Tangan Para Pihak yang Berselisih dan Arbiter;
  6. Pernyataan Arbiter atau Para Arbiter untuk Tidak Melampaui Kewenangannya dalam Penyelesaian Perkara yang ditanganinya; dan
  7. Tidak Mempunyai Hubungan Keluarga Sedarah atau Semenda sampai dengan Derajat Kedua dengan Salah Satu Pihak yang Berselisih.

 

Setelah dilakukan penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter, pemeriksaan harus dilakukan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari dari penandatanganan surat perjanjian. Pemeriksaan perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain (Pasal 40 dan Pasal 41 UU PHI).

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai maka arbiter wajib membuat akta perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan arbiter. Akta perdamaian tersebut nantinya akan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terkait. Apabila perdamaian tidak tercapai atau gagal maka arbiter meneruskan sidang arbitrase (Pasal 44 UU PHI).

Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbiter.

Putusan sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum. Putusan arbitrase memuat:

  1. Kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
  2. Nama lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
  3. Nama lengkap dan alamat para pihak;
  4. Hal-hal yang  termuat  dalam  surat perjanjian yang diajukan oleh  para pihak yang berselisih;  
  5. Ikhtisar dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan  lebih  lanjut  para pihak yang berselisih;             
  6. Pertimbangan yang menjadi dasar putusan; 
  7. Pokok putusan;
  8. Tempat dan tanggal putusan;
  9. Mulai berlakunya putusan; dan
  10. Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter.

 

Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat  para  pihak  yang berselisih  dan  merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.  Perselisihan hubungan industrial yang  sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.  Putusan nantinya akan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Pasal 51 sampai dengan Pasal 53 UU PHI) :

  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu; 
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
  3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan; 
  4. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
  5. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

Suria Nataadmadja & Associates Law Firm

Advocates & Legal Consultants