Process and Procedure of Criminal Court Litigation
Dalam proses persidangan pidana, mungkin masih banyak orang yang belum terlalu mengetahui mengenai tahapan-tahapan persidangan yang dilaksanakan di Pengadilan. Untuk itu penulis akan membahas tentang alur proses dan tahapan persidangan perkara/sengketa pidana tersebut. Dasar hukum dari alur beracara pidana diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bagaimana pelaksanaan proses beracara pidana, mulai dari tahap Penyidikan di kepolisian hingga Putusan Hakim di Pengadilan.
Secara singkat alur proses persidangan perkara pidana adalah sebagai berikut:
- Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum
Menurut M. Yahya Harahap, Surat Dakwaan tersebut ialah surat atau akta yang memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa, yang disimpulkan dari hasil pemeriksaan Penyidikan, dihubungkan dengan rumusan Pasal tindak pidana yang dilanggar, dan didakwakan kepada Terdakwa, dan dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan Hakim di sidang Pengadilan.
- Nota Keberatan (Eksepsi) Atas Surat Dakwaan oleh Penasihat Hukum Terdakwa
Atas Surat Dakwaan Penuntut Umum, Terdakwa diwakili oleh Penasihat Hukum/Pengacara/Advokatnya yang bekerja di Kantor Hukum, memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau tangkisan terhadap Dakwaan tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yang dalam praktek peradilan biasa disebut dengan Eksepsi. Keberatan diajukan setelah Surat Dakwaan dibacakan oleh Penuntut Umum, dan keberatan tersebut diajukan secara tertulis sebelum sidang memeriksa materi perkara, apabila keberatan diajukan di luar kesempatan tersebut, maka tidak akan diperhatikan oleh Hakim.
Menurut Pasal 156 ayat (1) KUHAP, Keberatan ada 3 (tiga) macam, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Keberatan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya;
- Keberatan bahwa Surat Dakwaan tidak dapat diterima;
- Keberatan bahwa Surat Dakwaan harus dibatalkan.
- Tanggapan Atas Nota Keberatan (Eksepsi) Penasehat Hukum Terdakwa oleh Penuntut Umum
Setelah Eksepsi dibacakan oleh Penasihat Hukum, maka Majelis Hakim memberi kesempatan kepada Penuntut Umum untuk menggunakan haknya dan menanggapi keberatan yang diajukan oleh Penasihat Hukum. Dalam hal ini Penuntut Umum dapat mengambil salah satu di antara beberapa sikap berikut:
- Menerima dan membenarkan keberatan penasihat hukum;
- Tidak menggunakan hak untuk menanggapi melainkan menyerahkan kepada Majelis hakim untuk memutuskan;
- Secara tegas menolak eksepsi dan akan mengajukan tanggapan secara tertulis dengan meminta waktu kepada majelis untuk menyusun tanggapannya tersebut yang akan dibacakan dalam sidang berikutnya;
- Secara tegas menolak dan mengajukan tanggapan beserta alasanalasannya.
Pada dasarnya isi tanggapan atau penolakan Penuntut Umum terhadap Eksepsi Penasihat Hukum merupakan alasan-alasan dari penolakannya, yaitu berupa alasan yang membenarkan Surat Dakwaan. Alasan itu berupa sangkalan terhadap isi keberatan Penasihat Hukum beserta uraian mengenai alasan-alasannya. Sebagaimana telah diterangkan bahwa setiap Keberatan dalam Eksepsi harus disertai alasan-alasannya. Maka dalam tanggapan Penuntut Umum terhadap setiap Keberatan beserta uraian alasan-alasannya harus pula dibahas dengan argumentasi yuridis dengan menggunakan logika hukum. Penuntut Umum harus mampu memberikan argumentasi hukum untuk memperkuat dan membenarkan Surat Dakwaan yang telah disusunnya.
- Putusan Sela oleh Majelis Hakim
Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat didalam suatu Dakwaan. Dalam hal ini, berkaitan dengan suatu peristiwa apabila Terdakwa atau Penasihat Hukum mengajukan suatu Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau Dakwaan tidak dapat diterima atau Surat Dakwaan harus dibatalkan. Dalam Hukum Acara Pidana perihal mengenai Putusan Sela ini dapat disimpulkan dari Pasal 156 KUHAP.
- Pembuktian oleh Penuntut Umum
Untuk membuktikan apakah Terdakwa bersalah atau tidak dalam suatu perkara/kasus pidana, menurut Lilik Mulyadi, S.H., M.H., KUHAP di Indonesia menganut sitem Pembuktian secara negatif (negatief wettelijke bewujs theorie). Di dalam sistem Pembuktian tersebut terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, sedangkan unsur keyakinan Hakim hanya merupakan unsur pelengkap. Jadi, untuk menentukan apakah seseorang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, haruslah kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan 2 (dua) jenis alat bukti seperti yang tertuang di dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Keterangan Saksi;
- Keterangan Ahli;
- Surat;
- Petunjuk; dan
- Keterangan Terdakwa.
- Surat Tuntutan Pidana (Requisitor) oleh Penuntut Umum
Surat Tuntutan atau disebut dengan Rekuisitor adalah surat yang dibuat secara tertulis dan dibacakan di dalam persidangan. Dasar hukumnya adalah Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat Tuntutan memuat Pembuktian Surat Dakwaan berdasarkan alat-alat bukti yang terungkap di persidangan dan kesimpulan Penuntut Umum tentang kesalahan Terdakwa disertai dengan tuntutan pidana. Agar Surat Tuntutan tidak mudah untuk disanggah oleh Terdakwa atau Penasehat Hukumnya, maka Surat Tuntutan harus dibuat dengan lengkap dan benar.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Tuntutan:
- Surat Tuntutan harus disusun secara sistematis;
- Harus menggunakan susunan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar;
- Isi dan maksud dari Surat Tuntutan harus jelas dan mudah dimengerti;
- Apabila menggunakan teori hukum harus menyebut sumbernya.
- Nota Pembelaan (Pledoi) oleh Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya
Setelah Penuntut Umum selesai membacakan Surat Tuntutannya, maka selanjutnya diberikan hak kepada Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya untuk mengajukan Pembelaan (Pledoi), dasar hukumnya diatur dalam Pasal 182 KUHAP. Pembelaan (Pledoi) bertujuan untuk memperoleh Putusan Hakim yang membebaskan Terdakwa dari segala Dakwaan atau melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum ataupun setidak-tidaknya hukuman pidana seringan-ringannya.
Dalam Pasal 182 KUHAP, dinyatakan:
- Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana;
- Selanjutnya Terdakwa dan/atau Penasehat Hukum, mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Penuntut Umum, dengan ketentuan bahwa Terdakwa atau Penasehat Hukumnya selalu mendapat giliran terakhir;
- Tuntutan, Pembelaan dan Jawaban atas pembelaan dilakuan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
- Tanggapan Penuntut Umum Atas Nota Pembelaan Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya dan Tanggapan Penasehat Hukum Terdakwa Atas Tanggapan Penuntut Umum (Replik dan Duplik)
Istilah Replik dan Duplik sebenarnya adalah istilah dalam pemeriksaan perkara perdata. KUHAP sendiri tidak mengenal istilah Replik dan Duplik, namun KUHAP mengenal proses yang menyerupai Replik dan Duplik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b dan c, yang dikatakan sebagai proses jawaban atas Pembelaan Terdakwa, serta Jawaban atas Jawaban Pembelaan Terdakwa.
Replik adalah Jawaban atas Pembelaan dari Terdakwa atau disebut juga dengan counterplea, yang diajukan oleh Penuntut Umum, sedangkan Duplik adalah Jawaban Kedua atau disebut juga dengan rejoinder, yang diajukan oleh Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya.
- Putusan Akhir oleh Majelis Hakim
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh Hakim, maka sampailah Hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan Putusan, yang akan memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi. Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
- Putusan Bebas (Vrijspraak), adalah Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim yang berupa pembebasan Terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam Dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap Terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa Terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada Terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaiman dalam Dakwaan Penuntut Umum, sehingga oleh karena itu terhadap Terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).
- Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging), dijatuhkan oleh Hakim apabila dalam persidangan ternyata Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam Dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap Terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
- Putusan Pemidanaan, dalam hal Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Penuntut Umum, maka terhadap Terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
Penutup
Demikian alur proses persidangan pidana yang disimpulkan dari Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sebagai kantor pengacara dan konsultan hukum, kami akan membantu anda sebagai kuasa hukum untuk mewakili dan memperjuangkan hak dan kepentingan anda baik secara non-litigasi maupun secara litigasi dimuka Pengadilan, untuk keterangan lebih lanjut anda dapat menghubungi kami melalui kontak yang tertera dalam website.